Selama ini, masyarakat lebih mengenal istilah Suku Batak Toba sebagai salah satu kelompok etnis terbesar di Sumatra Utara. Namun, sebuah hipotesis menarik belakangan ini mulai ramai diperbincangkan di kalangan pemerhati sejarah lokal, di antaranya penulis Sutan Bandaeo Sati. Disebutkan bahwa dahulu suku yang kini dikenal sebagai Toba sebenarnya berasal dari kelompok yang bernama Tubbak.
Teori ini berangkat dari tradisi lisan masyarakat Karo dan Pakpak, dua kelompok Batak lain yang secara geografis berbatasan langsung dengan wilayah Toba. Dalam bahasa Karo, masyarakat Toba kerap disebut sebagai Tebba, sementara dalam sebutan Pakpak dikenal dengan istilah serupa. Istilah ini dinilai lebih dekat secara fonetik dengan kata Tubbak ketimbang Toba.
Keberadaan nama-nama tempat di kawasan Toba juga memperkuat dugaan tersebut. Di Humbang Hasundutan, ditemukan sejumlah toponim kuno seperti Temba, yang dianggap berkaitan erat dengan istilah Tebba atau Tubbak. Nama-nama desa kuno ini diyakini berasal dari masa ketika kawasan itu masih didiami oleh komunitas dengan sebutan awal Tubbak.
Menariknya, catatan kronik tua dari Barus yang ditulis pada masa kejayaan pelabuhan rempah itu menyebut tentang asal usul mereka dari Toba yanh bisa saja yanh dimaksud adalah Tubba. Kelompok ini disebut-sebut telah berada dalam kawasan pegunungan di sekitar danau besar yang kini dikenal sebagai Danau Toba.
Hipotesis ini juga membuka ruang tafsir baru soal asal-usul nama Toba itu sendiri. Bila benar awalnya nama sukunya adalah Tubbak, maka kata Toba kemungkinan hanya merupakan nama danau yang kemudian diwarisi sebagai identitas etnis oleh kelompok masyarakat yang menetap di sekitarnya.
Sejarawan lokal bahkan mengaitkan nama Tubbak dengan istilah kuno Tubba’, yakni nama sebuah kerajaan di Yaman Kuno. Meski belum ada bukti langsung yang menghubungkan kedua istilah ini, kemiripan nama telah memicu spekulasi tentang jalur migrasi kuno bangsa-bangsa pelaut dari wilayah Arabia ke Nusantara ribuan tahun lalu.
Sebelum proses “pembatakan” atau penyatuan berbagai kelompok di kawasan Sumatra bagian utara dalam 'identitas Batak', diketahui bahwa komunitas di sekitar Danau Toba terbagi dalam beberapa kelompok suku kecil. Salah satunya adalah Suku Lottung, yang hingga kini masih dikenal dalam silsilah Batak Toba.
Menurut tradisi tua, Suku Lottung merupakan salah satu dari empat suku asli dalam kelompok Tubbak, bersama Suku Sumbah (Sumba), Suku Pohan, dan Suku Tamba. Keempat suku ini diyakini sebagai komunitas tertua yang mendiami kawasan sekitar Danau Toba jauh sebelum terbentuknya struktur marga-marga Batak seperti sekarang.
Proses peleburan suku-suku ini diperkirakan terjadi secara bertahap seiring datangnya pengaruh agama, kerajaan, dan struktur sosial baru di wilayah tersebut. Perlahan, nama Tubbak pun terlupakan, digantikan oleh sebutan Toba yang merujuk pada kawasan geografis danau besar yang mendominasi wilayah itu. Menurut sejarawan Dada Meuraxa, nama Toba sendiri berasal dari istilah Arab Taiba yang bemakna indah dan sekaligus nama kota suci Madinah di Arab setelah nama Yathrib.
Kemungkinan besar, pembentukan identitas Batak Toba seperti yang dikenal sekarang baru mulai menguat pada abad ke-13 hingga ke-16, bersamaan dengan semakin intensnya hubungan dagang dan pengaruh luar melalui Barus, Pidie, dan Aceh.
Catatan tertulis tentang suku Tubbak memang sangat minim, sehingga jejaknya lebih banyak bertahan dalam tradisi lisan, toponim kuno, dan kosakata masyarakat di sekitar Danau Toba, seperti Mandailing Angkola, yang banyak mempunyai marga akulturasi seperti Harahap (Halak Arab), Daulay (berasal dari gekar Dauleh di Arab), Rangkuti (Ra Kuti/India), Nasution (Abbasiyah) dll.
Selain itu, sebutan Tebba atau Temba yang masih akrab di telinga masyarakat Karo, Pakpak, dan sebagian Humbang Hasundutan memperkuat hipotesis bahwa nama Tubbak pernah hidup lama di kawasan ini sebelum bergeser menjadi Toba.
Kaitan nama Tubbak dengan Tubba’ dari Yaman juga semakin memperluas kemungkinan adanya pengaruh kuno dari bangsa pelaut Arabia ke wilayah Danau Toba, mengingat Barus sudah dikenal sebagai pelabuhan internasional sejak awal milenium pertama Masehi, bahkan diperkirakan dari era Mesir.
Kemungkinan jalur pelayaran kuno dari Semenanjung Arabia ke Barus via Samudera Hindia bahkan diyakini membawa pengaruh budaya, bahasa, dan kemungkinan nama-nama kelompok masyarakat. Nama Tubbak bisa jadi merupakan sisa dari pengaruh itu yang kemudian melebur dengan komunitas lokal. Barus sendiri telah ditetapkan sebagai Titik Nol Islam di Nusantara pada era Presiden Jokowi.
Para budayawan Batak sepakat bahwa struktur adat Batak saat ini merupakan hasil akulturasi berabad-abad. Proses panjang itu menyatukan berbagai kelompok suku kecil di sekitar Danau Toba yang dulunya berdiri sendiri-sendiri, termasuk kemungkinan kelompok Tubbak.
Meski hingga kini belum ditemukan prasasti atau artefak yang menyebut nama Tubbak secara langsung di kawasan Toba, toponim dan catatan lisan yang hidup menjadi jejak penting yang patut ditelusuri lebih dalam oleh para arkeolog dan sejarawan.
Kajian etnolinguistik tentang sebutan Tebba dan Temba di wilayah Karo dan Pakpak bisa menjadi petunjuk awal untuk menelusuri sisa-sisa nama Tubbak di kawasan Sumatra bagian utara. Jika benar, hal ini akan membuka babak baru dalam sejarah asal-usul etnis Batak.
Jika hipotesis ini terbukti, maka istilah Batak Toba yang kini dikenal luas bisa jadi merupakan kelanjutan dari nama lama Tubbak, dengan Toba sebagai nama danau yang akhirnya menjadi penanda identitas kelompok masyarakat di sekitarnya.
Sejarah memang kerap menyimpan rahasia dalam lapisan-lapisan nama tempat dan istilah lama yang terlupakan. Nama Tubbak, yang mungkin selama ini tersembunyi di balik sebutan Tebba dan Temba, bisa jadi salah satu kunci untuk memahami asal-usul etnis terbesar di pegunungan Sumatra.
Blogger Comment
Facebook Comment