Kelompok Usaha Busana Gorden di Banda Aceh

Bisnis yang mengedepankan sisi humanis ketimbang materi jarang ditemukan. Adalah Nurleila, sosok perempuan yang mencoba mengubah paradigma bisnis dari yang konvensional menuju yang lebih modern namun humanis dalam sebuah usaha bersama bernama Kelompok Usaha Busana Gorden di Banda Aceh.

Nurleila memang sudah lama memimpikan memiliki usaha seperti itu, persisnya sejak ia menyelesaikan pendidikan di salahsatu sekolah keterampilan keluarga atau SMKK di Lhokseumawe, Aceh, tahun 1998 silam.

Sebelas tahun merintis usaha adalah waktu yang melelahkan bagi Nurleila. Apalagi di masa itu konflik menjadi ancaman rutin, ditambah tsunami di penghujung 2004 yang sempat membuat Kelompok Usaha Busana Gorden berhenti sesaat. Tapi, niat harus tercapai.

“Sejak tamat di SMKK Lhokseumawe, saya sudah bertekad, dengan bakat yang ada dan kemauan kuat, untuk menularkan keterampilan saya. Apapun yang terjadi, ini harus tetap jalan,” ujar Kak Leila, sapaan akrab adik-adik asuhnya.

Kerja keras Leila berbuah manis. Banyak perempuan yang ia didik dan bekerja untuknya sudah mandiri. Leila juga tengah mendidik dua pekerja wanita cacat berusia 30 tahun. “Ini semua dalam rangka pemberdayaan perempuan guna mendapatkan kesempatan kerja,” sebutnya.

Kelompok usaha yang didirikannya siap menerima tempahan beragam gorden, sprei, bedcover, baju, alas meja dan lain-lain. Untuk bed cover sendiri, pasarnya sudah meluas hingga ke Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe dan Meulaboh.

Soal harga, Leila mengaku siap bersaing. “Harga yang kami patok standard,” tegasnya. Untuk bedcover misalnya, Leila membandrol Rp500 ribu. Harga bisa lebih dari itu jika pemesan menginginkan variasi bordir. Leila menggunakan bahan-bahan berkualitas agar tidak kalah saing dengan produk luar.

“Untuk pemasaran kami tidak ada kendala karena menggunakan SDM yang berpengalaman di bidang pemasaran dan bahkan menggunakan jasa internet,” tandasnya.

Umumnya penghasilan pekerja di kelompok usaha variatif, berdasarkan tingkat kemampuan serta pengalaman kerja. Leila memiliki rumus dalam menggaji pekerjanya: kerja selama 1-3 bulan, honornya Rp300 ribu. Pada bulan ke-4 dan mencapai target, pekerja mendapatkan penghasilan lebihdari Rp900 ribu. Ada juga yang berpenghasilan Rp1,5-2 juta per bulan.

“Beberapa pekerja sudah ada yang bisa membeli kendaraan dan peralatan mesin jahit untuk usaha sendiri di rumah,” paparnya.

Kelompok usaha ini semakin berkembang setelah sebuah lembaga nirlaba asal Swiss, Swisscontact, memberikan bantuan hibah peralatan usaha menjahit seperti mesin bordir, mesin jahit pinggir, mesin pelubang kancing dan mesin pendukung lainnya. “Semuanya ini peralatan kerja yang sangat dibutuhkan. Selain itu Swisscontact juga melakukan pendampingan agar manajemen usaha dapat diterapkan dengan baik,” tandasnya.

Impian Leila sudah terwujud. Omzet pun terus naik hingga Rp21 juta//bulan. Dan dari usahanya kini, ia sudah dapat menambah aset berupa tanah, rumah serta membayar kontrakan untuk tempat usahanya, berikut biaya pendidikan anak-anaknya yang sudah yatim.

Share on Google Plus

About marbun

    Blogger Comment
    Facebook Comment