Solidaritas Batak Bantu Mandailing di Perang Saudara Malaysia


Perang Saudara Selangor yang terjadi pada tahun 1867 hingga 1874 bukan sekadar catatan kelam dalam sejarah Semenanjung Malaya. Di balik konflik berdarah itu, tersimpan kisah solidaritas yang jarang diketahui, antara orang Batak dari Sumatera Utara dan Mandailing yang sama-sama terdesak di negeri rantau. Pertumpahan darah yang awalnya dipicu perebutan kuasa dan persaingan ekonomi itu, justru mempererat hubungan dua suku serumpun di tanah asing.

Di masa itu, konflik yang melibatkan berbagai kekuatan lokal seperti Bugis, Pahang, dan Mandailing mencapai puncaknya. Kejayaan suku Mandailing dalam bidang ekonomi di Selangor kala itu menimbulkan ketidakpuasan dari kelompok Bugis dan Pahang. Ketegangan ini kemudian berujung pada pembantaian besar-besaran terhadap warga Mandailing, memaksa mereka melarikan diri demi keselamatan.

Dalam situasi mencekam tersebut, Duli Yang Teramat Mulia Raja Muda Laut Ibni Almarhum Sultan Muhammad Shah memutuskan untuk memperkuat pasukannya. Sebanyak 1,000 orang Batak dari Sumatera Utara didatangkan sebagai tentera upahan untuk membantunya dalam menghadapi kekuatan musuh yang terus mengganas. Tidak hanya datang sebagai tentara, orang Batak ini turut membawa solidaritas kultural, sebab mereka sedarah dan sesuku besar dengan Mandailing.

Orang Batak dikenal sebagai pejuang tangguh dan pemberani. Di tengah hutan-hutan lebat dan kampung-kampung yang hancur akibat perang, mereka bahu membahu bersama Mandailing mempertahankan desa dan keluarga yang tersisa. Para tetua Batak menyebut peperangan di tanah Melayu ini sebagai ‘perjalanan berat mempertahankan maruah serumpun di negeri rantau’.

Pembantaian terhadap Mandailing saat itu benar-benar mengerikan. Banyak keluarga yang kehilangan anggota, desa-desa dibakar, dan nama-nama marga terpaksa dihapuskan demi menyelamatkan nyawa. Mereka yang berhasil selamat sebagian besar melarikan diri ke Perak dan mendirikan kampung-kampung baru untuk berlindung dari kejaran tentera Bugis dan Pahang.

Salah satu lokasi penting yang menjadi saksi sejarah solidaritas Batak dan Mandailing itu adalah Kampung Batak Rabit. Kampung ini awalnya dihuni oleh tentera Batak yang usai perang memilih menetap. Ciri khas mereka yang menggunakan subang besar hingga telinga robek atau rabit, membuat kampung tersebut akhirnya dinamakan Kampung Batak Rabit.

Kampung Batak Rabit bukan hanya sekadar pemukiman, tetapi sempat menjadi ibu negeri dan pusat pemerintahan Perak. Di bawah kekuasaan Sultan Abdullah Muhammad II dari 1874 hingga 1877, kawasan ini menjadi pusat aktivitas politik dan ekonomi penting selepas Perang Saudara Selangor berakhir.

Dalam suasana penuh luka dan trauma akibat perang, suku Batak dan Mandailing di Perak hidup berdampingan. Mereka membangun desa, membuka ladang, dan meneruskan kehidupan tanpa lagi mempersoalkan asal-usul. Solidaritas di masa perang itu menjelma menjadi ikatan kekeluargaan yang bertahan hingga kini, meski banyak keturunan mereka telah berasimilasi menjadi Melayu.

Sejarah mencatat, dalam perang tersebut bukan hanya Batak yang turun membantu. Suku Rawa dan Minangkabau pun turut bergabung, menyadari bahwa musuh bersama tak bisa dihadapi sendiri-sendiri. Ikatan kekerabatan dan asal-usul Sumatera membuat perbedaan kecil di antara mereka bisa disisihkan demi kepentingan bersama.

Perang yang terjadi lebih dari seabad lalu itu menyisakan warisan tak ternilai. Meski nama-nama marga Mandailing banyak yang disembunyikan, kisah keberanian mereka bersama orang Batak tetap hidup dalam ingatan keturunan di Perak. Beberapa keluarga masih menyimpan cerita tentang leluhur mereka yang terlibat dalam perang dan berpindah dari Selangor ke Perak.

Kampung Batak Rabit hingga kini tetap menjadi simbol sejarah perlawanan dan persaudaraan antar suku Sumatera di Tanah Melayu. Meski modernisasi telah mengubah wajah kampung tersebut, jejak-jejak sejarah masih dapat dirasakan melalui cerita lisan dan tradisi keluarga yang diwariskan turun-temurun.

Keberadaan kampung ini juga membuktikan bahwa migrasi orang Sumatera ke Semenanjung bukan sekadar mencari penghidupan, tetapi juga karena faktor geopolitik dan perlindungan. Banyak di antara mereka datang sebagai pejuang, bukan semata-mata perantau.

Kisah solidaritas ini sering luput dalam buku sejarah resmi Malaysia maupun Indonesia. Padahal, inilah salah satu episode penting yang memperlihatkan bagaimana hubungan antar suku serumpun di Asia Tenggara terjalin kuat, bahkan di saat krisis sekalipun.

Generasi kini patut mengetahui bahwa leluhur mereka di masa lalu pernah berdiri bersama di medan perang, berbagi derita, dan menyelamatkan satu sama lain tanpa memandang perbedaan kecil di antara mereka. Semangat ini penting dijaga di tengah arus globalisasi yang kian mengikis nilai-nilai kekerabatan lama.

Sudah saatnya kisah Kampung Batak Rabit dan Perang Saudara Selangor ditulis kembali dalam literatur sejarah Nusantara. Kisah ini tidak hanya tentang peperangan, tetapi tentang bagaimana solidaritas antarsuku serumpun mampu menjadi kekuatan melawan ketidakadilan.

Di balik debu sejarah dan perubahan zaman, warisan persaudaraan Batak dan Mandailing tetap hidup di tanah rantau. Mereka menjadi bukti bahwa darah dan tanah asal boleh berbeda, tetapi nurani dan maruah bersama tetap satu.

https://www.facebook.com/share/p/17qDn65VVr/
Share on Google Plus

About marbun

    Blogger Comment
    Facebook Comment