Serangan Israel ke Iran beberapa waktu lalu menandai babak baru dalam sejarah Timur Tengah yang selama ini tak pernah benar-benar damai. Di bawah komando langsung Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Israel melancarkan gelombang serangan udara ke fasilitas-fasilitas nuklir strategis Iran. Aksi ini tak hanya memicu ketegangan di kawasan, tapi juga menggeser peta politik global. Netanyahu bahkan dengan lantang menyatakan bahwa Israel telah “mengubah wajah Timur Tengah dan dunia.”
Serangan ini tak berhenti sampai di situ. Amerika Serikat, di bawah kendali Donald Trump yang kembali memimpin, memerintahkan pemboman terhadap tiga situs nuklir Iran. Langkah ini dilakukan dengan dalih mencegah Iran memperoleh senjata nuklir, sebuah alasan klasik yang sejak dulu kerap digunakan Washington untuk membenarkan intervensi militernya di kawasan. Trump bahkan menekan Iran agar tidak melakukan pembalasan, meski hak bela diri Iran diatur jelas dalam Piagam PBB.
Iran langsung bereaksi keras. Pemerintah di Teheran mengecam keras serangan tersebut sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara anggota PBB. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyebut serangan itu telah melampaui garis merah besar dengan menyerang fasilitas nuklir sipil. Dalam pernyataannya, Iran memastikan akan menggunakan hak membela diri sesuai Pasal 51 Piagam PBB.
Langkah sepihak AS-Israel ini seketika menekankan kembali Israel sebagai aktor dominan baru di kawasan yang bisa melakukan apa saja tanpa konsekuensi nyata. Banyak pihak menyebut tindakan ini sebagai kelanjutan dari kebijakan impunitas Israel yang sudah berlangsung lama, seperti yang terjadi dalam kasus genosida di Gaza yang hingga kini tak pernah diganjar sanksi tegas. Walau begitu, Tuekiye menyebut Israel sebagai aktor kotor sumber berbagai masalah di Timur Tengah.
Di level internasional, respons bermunculan dari berbagai negara. Rusia dengan tegas mengecam serangan tersebut. Dmitry Medvedev, mantan Presiden Rusia, bahkan menyebut Trump telah menyeret Amerika ke dalam perang baru di Timur Tengah. Menurut Medvedev, operasi militer tersebut justru gagal mencapai tujuan strategisnya, karena Iran masih mampu mempertahankan kemampuan pengayaan nuklirnya.
Sementara itu, Iran memutuskan mempererat aliansi dengan Rusia dan negara-negara sahabat lainnya. Abbas Araghchi langsung terbang ke Moskow untuk bertemu Presiden Vladimir Putin. Dalam pernyataannya, Araghchi menegaskan pentingnya konsultasi strategis dengan sekutu lama untuk merespons agresi AS-Israel dan membahas langkah balasan terkoordinasi.
Ketegangan di kawasan terus meningkat, apalagi setelah sejumlah negara sahabat Iran dikabarkan siap memasok senjata dan teknologi nuklir ke Teheran. Kabar ini makin memperkeruh situasi, mengingat selama ini Iran selalu mengklaim program nuklirnya hanya untuk kepentingan sipil. Kini, setelah serangan brutal itu, wacana kepemilikan senjata nuklir untuk pertahanan diri mulai didengungkan lebih terbuka.
Negara-negara Teluk Arab, yang selama ini dikenal dekat dengan AS, terpecah dalam menyikapi situasi ini. Beberapa negara memilih bungkam, sementara lainnya secara diam-diam khawatir terhadap dominasi Israel yang makin tak terbendung. Negara-negara seperti Qatar dan Oman menyerukan de-eskalasi, sedangkan Arab Saudi belum memberikan sikap resmi yang tegas.
Di tengah suasana mencekam ini, gelombang protes bermunculan di berbagai kota di Timur Tengah. Dari Baghdad, Amerika Latin hingga Beirut, warga turun ke jalan mengecam agresi Israel dan AS. Mereka menuntut solidaritas dunia dan meminta PBB segera mengambil tindakan atas pelanggaran hukum internasional yang terang-terangan terjadi.
Namun, PBB sendiri terlihat gamang menghadapi situasi ini. Meski Sekretaris Jenderal PBB mengutuk beebagai serangan ke Iran sebagai pelanggaran hukum internasional, Dewan Keamanan lumpuh karena veto dari AS. Situasi ini kembali menegaskan betapa timpangnya tatanan internasional ketika kepentingan negara adidaya dipertaruhkan.
Benjamin Netanyahu justru semakin percaya diri. Dalam wawancara eksklusifnya, ia menyatakan bahwa Israel kini bukan hanya kekuatan regional, melainkan pemain global yang mampu menentukan arah dunia. Pernyataan ini sontak memicu kemarahan banyak pihak yang melihatnya sebagai bentuk arogansi kekuasaan yang tak terkendali.
Serangan ke Iran dan pemboman situs nuklirnya ini juga memicu perubahan peta penerbangan global. Maskapai-maskapai internasional menghindari wilayah udara Iran, Irak, Suriah, dan Lebanon. Afghanistan yang selama ini sepi kini berubah menjadi koridor udara penting, dengan lonjakan penerbangan hingga 500% dalam beberapa pekan terakhir.
Di sisi lain, dunia Islam berada di persimpangan. Banyak negara Muslim menghadapi dilema antara mengecam Israel secara terbuka atau menjaga hubungan strategis dengan AS. Hal ini menyebabkan lahirnya perpecahan sikap di tubuh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang membuat suara kolektif dunia Muslim menjadi lemah.
Meski demikian, Iran tetap menunjukkan sikap keras. Pemerintah Teheran bertekad melanjutkan pengembangan teknologi pertahanan dan mempercepat aliansi strategisnya dengan Rusia, China, dan beberapa negara Asia Tengah. Iran juga mulai merancang blok perlawanan regional bersama kelompok-kelompok perlawanan di Irak, Lebanon, dan Suriah.
Dampak jangka panjang dari serangan ini diperkirakan akan mengubah wajah Timur Tengah secara drastis. Kawasan yang selama ini sudah rapuh akibat perang saudara dan konflik sektarian kini berpotensi masuk ke dalam eskalasi baru yang lebih luas dan berbahaya, dengan Israel menjadi aktor tunggal yang menentukan arah pergerakan.
Donald Trump sendiri tak memperlihatkan tanda-tanda penyesalan. Dalam pidato terbukanya, ia mengklaim bahwa langkah tersebut diperlukan demi keamanan dunia dan stabilitas regional. Ia bahkan menyindir Iran agar tidak gegabah membalas, sambil mengingatkan dunia bahwa AS bersama Israel siap menghadapi konsekuensi apapun.
Keberanian Iran untuk melawan, meski dihadapkan pada kekuatan militer gabungan AS-Israel, membuat banyak negara mulai mempertimbangkan ulang posisi mereka. Beberapa analis memprediksi akan lahir poros baru di Timur Tengah yang berporos pada Teheran-Moskow-Beijing untuk menghadapi dominasi blok Barat.
Kini, wajah Timur Tengah memang tak lagi sama. Kawasan itu memasuki babak baru yang jauh lebih liar dan tak terprediksi. Genosida di Gaza, pemboman Iran, dan dominasi Israel yang tanpa sanksi jadi cermin nyata bahwa tatanan dunia pasca perang dingin sepenuhnya dikendalikan kekuatan sepihak yang tak lagi peduli pada hukum internasional.
Blogger Comment
Facebook Comment